Jingga yang Patah


Langit sore itu berwarna jingga keemasan, warna yang paling kusukai. Sebuah hadiah kecil dari semesta setelah seharian berkutat dengan layar monitor dan tumpukan kertas. Lelah, tentu saja, tapi ada seutas rasa senang yang membuncah di dada. Jarum jam di pergelangan tangan menunjukkan pukul empat sore, satu jam lebih awal dari biasanya. Satu jam ekstra untuk bermalas-malasan, untuk secangkir kopi hangat, untuk sekadar menjadi diriku sendiri.

Angin yang menerpa wajah terasa sejuk, membawa aroma basah dari sisa hujan siang tadi. Kugerakkan pergelangan tanganku, memacu motor bebek kesayanganku sedikit lebih kencang. Angka di speedometer menyentuh 70 km/jam. Jalanan terasa lengang, hanya ada mobil minibus di depanku yang melaju dengan santai. Pohon-pohon di tepi jalan melebur menjadi sapuan warna hijau yang kabur. Aku merasa bebas. Perasaan inilah yang membuatku selalu mencintai perjalanan pulang.


Lalu, dalam satu kedipan mata, kebebasan itu direnggut.

Dari sisi kiri, dari jalan kecil yang nyaris tak terlihat, sebuah mobil pikap menerobos keluar. Tanpa aba-aba, tanpa kedip lampu sen yang menjadi bahasa universal para pengendara. Ia memotong jalan, badannya yang bongsor tiba-tiba memenuhi seluruh pandanganku. Otakku berteriak "REM!", tapi jarak dan waktu sudah berkhianat. Yang terdengar selanjutnya adalah decit ban yang memekakkan telinga, disusul benturan keras yang meremukkan.

Dadaku menghantam stang motor dengan kekuatan yang membuat napasku tercekat. Dunia berputar. Aspal yang tadinya di bawah roda kini terasa kasar di pipiku. Samar-samar kudengar teriakan orang, suara mesin yang mati mendadak, dan dengung panjang di telingaku sendiri. Rasa senang dan lelah yang tadi kurasakan lenyap, digantikan oleh sengatan rasa sakit yang tajam di lutut dan denyut tumpul yang menyesakkan di dada. Kulihat celana jeansku robek di bagian lutut, memperlihatkan lebam yang mulai membiru.

Kejadian itu begitu cepat, tetapi detik-detik setelahnya terasa berjalan lambat. Sepasang tangan kokoh membantuku bangkit, suara-suara cemas menanyakan keadaanku. "Mas, tidak apa-apa?" Pemilik mobil pikap itu, seorang bapak-bapak dengan wajah pias, bersama warga sekitar membawaku menepi. Tak ada amarah di sana, yang ada hanya kepanikan dan rasa kemanusiaan yang tulus. Mereka tak banyak bicara, hanya bergegas membawaku ke klinik terdekat yang diterangi lampu neon pucat.

Duduk di tepi ranjang klinik dengan bau antiseptik yang menusuk hidung, barulah semuanya terasa nyata. Dokter membersihkan lukaku, dan setiap sentuhan kapas itu mengirimkan gelombang ngilu ke seluruh tubuh. Di sinilah rasa senang itu benar-benar mati, digantikan oleh cemas yang melilit perut dan takut yang membuat sekujur tubuhku dingin. Bagaimana jika tadi lebih parah? Bagaimana jika ada tulang yang patah? Bagaimana jika...

Hari ini aku mengerti harga dari sebuah kelengahan. Perasaan senang karena bisa pulang lebih cepat ternyata bisa membutakan, membuatku lupa bahwa di atas aspal ini, segalanya bisa berubah dalam sekejap. Kehati-hatian bukanlah sekadar pilihan, melainkan satu-satunya pegangan yang kita punya saat takdir berbelok tiba-tiba dari persimpangan jalan, tanpa isyarat, tanpa satu pun nyala lampu sen.

Komentar